Minggu, 24 Oktober 2010

Islam, Hakikat Iman dan Cinta

Islam, Hakikat Iman dan Cinta

Oleh Habibullah Bahwi
Terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai itu, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama.
KETIKA ada seorang pemeluk agama bertanya tentang hakikiat agamanya. Jawaban bijak yang mungkin paling sederhana adalah iman dan cinta. Begitu juga, apabila yang bertanya itu kebetulan seorang muslim, dengan bertanya; apakah hakikat Islam itu sesungguhnya,? Maka, jawaban paling bijaknya pun tetap sama, yaitu iman dan cinta. Ini persis dalam semboyan yang diulang-ulang, bahwa Islam itu adalah rahmatan lil-alamin.
Lalu, apa artinya jawaban panjang lebar dan berbelit-belit tentang akidah (teologi), jurisprudensi Islam (fiqh) dan turats (tradisi), serta hal-hal lain yang terkait dengan Islam? Menurut saya, semua itu adalah instrumen formal yang serta-merta akan menyetai pola keimanan dan rasa cinta para pemeluknya. Segudang teori agama, beragam keping budaya dan setumpuk peradaban Islam, tidak lain hanyalah bentuk nyata (implementasi) dari kesatuan iman dan cinta tersebut.
Artinya, apapun yang telah dan akan diaktualisasikan oleh pemeluk Islam dalam bentuk kongkret, bisa dipahami sebagai ungkapan logis dari keimanan dan rasa cinta mereka. Boleh-boleh saja mereka mengungkapkan rasa cinta dan keimanannya itu dalam bentuk disiplin-disiplin fisik (ritual-ritual), dengan membangun komunitas-komunitas budaya, tradisi pemikiran, atau mendirikan sebuah peradaban yang tinggi dan hebat sekaligus. Bahkan, tidak ada larangan apapun yang mengharuskan mereka agar membatasi konstruksi pemahamannya dalam realitas iman dan cinta.
Lalu, mengapa terjadinya konflik-konflik internal antar golongan beragama, ataupun perang hebat antar pemeluk agama? Dalam konteks keberagamaan, bisa kita pahami sebagai bentuk klimaks dari perebutan simbol saja. Karena, boleh disepakati atau tidak, realitas simbol merupakan bagian kuat dari watak dasariyah manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Ernst Cassirer, bahwa “manusia itu adalah makhluk yang simbolik” (animal symbolicum).
Dengan simbol manusia mampu membentuk budayanya, mengungkapkan rasa melalui bentuk-bentuk. Ungkapan simbolis merupakan jalan menuju kebebasan yang berdaya cipta, dan “hidup yang menggunakan lambang-lambang berarti kebebasan sejati”. Demikian menurut Thomas Mann.
Dengan begitu, maka eksistensi nama-nama dari seluruh agama, sama artinya dengan simbol-simbol yang berdaya cipta tinggi. Ada yang namaya agama Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha dan seterusnya. Namun, kalau dari serentetan nama-nama itu, dalam konteks simbol kemudian muncul banyak dikotomi eksistensialis dalam kehidupan para pemeluknya, tentu merupakan hal yang wajar, sesuai dengan watak dasar manusianya yang bersifat simbolik. Bukan karena sifat agamanya.
Tapi, kenapa konflik antarummat beragama masih sering terjadi, apakah karena para pemeluk agama-agama itu tidak mengerti dengan realitas simbol? Jawabannya bisa saja, karena ada beragam citra atau kepentingan-kepentingan terselubung yang digantungkan di balik simbol-simbol itu, sehingga menyebabkan ia terseret kedalam serentetan tindak kekerasan dan penjajahan. Namun, kecenderungan semacam ini tidak akan berlaku di wilayah keimanan, cinta dan pemahaman para pemeluk agama.
Selanjutnya, terkait dengan nama Islam sebagai citra simbolik sebuah agama. Abdul Karim Sorous, cendikiawan muslim kritis berkebangsaan Iran memilki pandangan bahwa; Islam yang lahir dengan membawa seperangkat ajaran dan nilai itu, pada hakikatnya merupakan bentuk simbolik dari pesan iman dan cinta, yang mana kedua-duanya berasal dari biji yang sama.
Menurutnya, dalam struktur iman itu, antusiasme, cinta dan persaksian tumbuh saling berjalin. Setiap orang berhak untuk memuja, mencinta dan bersaksi dalam kesendiriannya. Dengan begitu, iman sangatlah bermusuhan dengan yang namanya kemusyrikan. Baginya, tidak ada hal yang lebih baik dari pemujaan, cinta dan persaksian bersama, sebagaimana tidak ada hal yang lebih buruk daripada pemujaan, cinta dan persaksian yang dipaksakan. Iman yang sejati menurutnya, adalah yang bergantung pada individualitas dan kebebasan, dan penolakan terhadap keduanya sama artinya dengan menolak arti iman yang sesungguhnya. “tidak ada pemaksaan dalam iman dan cinta”, ini bermakna bahwa tangan-tangan tirani tidak berhak menebar benih-benih keagamaan di ladang hati. Tidak ada dekrit raja atau fatwa nalar yang bisa melahirkan atau memperbanyak iman dan cinta.
Kita mungkin dapat menerima pandangan ini, karena secara jelas, memang telah menggambarkan nilai esensif dari agama. Tapi, bisakah kita menerima kalau Islam, Kristen ataupun Yahudi, hanya dianggap sebagai simbol belaka? Nah, pertanyaan inilah sebetulnya yang perlu kita jawab bersama-sama. Dengan kata lain, bisakah kita menghentikan pertikaian memperebutkan simbol-simbol itu, dan melangkah bersama-sama menuju realitas iman dan cinta yang sesungguhnya,?
Nama agama hanyalah simbol, sedangkan kalbu masyarakat beragama adalah iman dan cinta yang dipilih secara bebas, bukan karena paksaan dan penyesuaian. Nabi-nabi itu dipilih hanya untuk menyampaikan “pesan kasih sayang” Tuhan dalam bentuk wahyu. Mereka diperankan sebagai kekasih oleh Tuhan demi menarik hati orang-orang yang bersih dan bajik. Mukjizat yang diberikan kepada mereka dimaksudkan untuk “menundukkan” musuh-musuh Allah, bukan untuk “menakut-nakuti” hati manusia supaya beriman pada mereka. Jadi, para nabi itu pantas dipuja sebagai nabi dan kekasih, bukan sebagai Tuhan yang lepas dari kodrat kemanusiaannya.
Maka dari itu, eksistensi nama-nama agama sebagai sebuah simbol sangat tidak layak untuk kita pertentangkan, baik melalui ajang konflik ataupun dalam bentuk pemaksaan-pemaksaan lain. Sebab, keimanan dan cinta sebagai esensi dari agama adalah hak bebas yang bisa dipilih sendiri oleh masing-masing individu. Maka, setiap tindakan, apapun bentuknya, yang menghapus kebebasan dari keimanan dan cinta, pencerahan dan dinamisme dari pemahaman agama, adalah tindakan yang justeru membahayakan landasan dan makna masyarakat agama.
Memaksa setiap orang supaya beriman secara palsu; melumpuhkan pemikiran dengan indoktrinasi, propaganda dan intimidasi, menutup gerbang kritik, revisi dan modifikasi, agar semua orang tunduk patuh pada satu ideologi tunggal, pastilah tidak akan menciptakan masyarakat yang religius. Melainkan, ini justru akan mencetak masyarakat monolitik yang terteror, lumpuh, pasrah dan hipokrit. Bentuk masyarakat agama yang demikian bukanlah bentuk masyarakat yang dikehendaki Tuhan dan para nabi-Nya.
Dan sebagai penutup dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan Jalaluddin Ar-Rumi, seorang pujangga sufi yang tidak pernah lelah berkelana demi keagungan iman dan cinta yang dipujanya. Ia pernah berkata kepada para pengikutnya, “Sambutlah iman dan cinta, pemusnah kemusyrikan yang luar biasa. Berikanlah air pada yang haus, berilah makan pada yang lapar dan bersujudlah atasnama iman dan cintamu demi Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dari rasa cinta-Nya. Ingatlah, bahwa kesombongan dan berulah munafik atas nama-Nya tidak akan pernah menolongmu menuju kemenangan dan perdamaian sejati.” Semoga Tuhan memberkati kita semua. Amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar